RAGAM

Slow Fashion: Upaya Kurangi Sampah Pakaian

"Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), limbah tekstil di 2023 menyumbang 2,5% dari total sampah nasional"

Tim Ruang Publik

Ilustrasi Pekerja menjahit pakaian di sebuah industri rumahan konveksi di Mancaan, Jiwan, Kabupaten
Ilustrasi Pekerja menjahit pakaian di sebuah industri rumahan konveksi di Mancaan, Jiwan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Siswowidodo/foc.

KBR, Jakarta - Tren fesyen cepat (fast fashion) masih mendominasi gaya hidup sebagian besar masyarakat. Cirinya adalah fesyen diproduksi massal, cepat, trending, dan murah. Namun, tren ini berdampak buruk ke lingkungan. Harga yang murah tetapi tidak berkualitas, sehingga cepat rusak.

Produksi pakaian yang tidak terkendali tentunya menyumbang sampah. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), limbah tekstil di 2023 menyumbang 2,5% dari total sampah nasional.

Di berbagai belahan dunia, muncul upaya perlawanan terhadap tren fast fashion, yakni dengan cara sebaliknya, slow fashion.

Di Indonesia, ada komunitas Slow Fashion Indonesia yang menekankan pada proses produksi dan kualitas pakaian. Menurut Caine Aurilia dari Slow Fashion Indonesia, material atau bahan pakaian yang digunakan dapat didaur ulang.

“Ketika fast fashion bicara tentang produksi secara linear, slow fashion bicara tentang produksi sirkular. Pakaian itu didesain untuk timeless, bagaimana caranya ketika sudah tidak digunakan lagi, mungkin menggunakan bahan biodegradable [dapat terurai], dapat didaur ulang,” jelas Caine dalam Ruang Publik KBR.

Sejak berdiri pada 2021, Slow Fashion Indonesia sudah menggelar sejumlah kegiatan, misalnya, fashion detox yang mengajak masyarakat untuk tidak belanja pakaian selama 3 bulan. Tujuannya untuk membangun kebiasaan supaya tidak keseringan membeli pakaian baru.

Slow Fashion Indonesia juga mengenalkan kampanye buyerarchy, yaitu hierarki keputusan sebelum membeli pakaian baru. Tahapannya (1) gunakan baju yang ada di dalam lemari, (2) meminjam pakaian ke keluarga atau teman, (3) sewa (renting) pakaian, dan (4) thrifting. Membeli baju baru jadi opsi terakhir.

“Kalaupun memang harus beli [baju baru], belilah yang (brand) lokal. Belilah pakaian yang mementingkan aspek-aspek lingkungan dan juga sosial,” tambah Caine.

Minimalis


Tren hidup minimalis juga diperkenalkan sebagai tandingan fast fashion. Komunitas Minimalist Moms Indonesia (MMID) menjadi wadah para puan hidup minimalis, lewat kampanye #minimalisdarirumah dan #BajuLamaRasaBaru.

Gaya Caecia, anggota MMID, mengatakan komunitasnya ingin mengajak masyarakat hidup minimalis, dimulai dari lingkungan terdekat yaitu rumah masing-masing. Menurutnya, hidup minimalis bukan soal berlomba-lomba memiliki barang paling sedikit, melainkan fokus pada barang-barang yang bermanfaat.

“Minimalis tidak diukur dari seberapa banyaknya barang yang kita miliki. Tetapi kita benar-benar mengurangi kelebihan barang dan fokus pada barang-barang apa saja yang bermanfaat dan membuat kita bahagia”, ujar Gaya.

Hidup minimalis juga bisa diterapkan melalui cara berpakaian. Lewat kampanye #BajuLamaRasaBaru di media sosial, MMID ingin mengedukasi masyarakat untuk memakai pakaian lama yang terasa baru. Caranya dengan melakukan mix and match atau memadupadankan pakaian dan juga mendesain ulang pakaian lama.

Bagaimana memadupadankan pakaian lama? Dan apa saja yang dapat dilakukan untuk bisa hidup minimalis serta hemat dan mengurangi sampah pakaian? Simak selengkapnya dalam siaran Ruang Publik KBR episode Isi Lemari Minimalis, Bikin Hemat dan Kurangi Sampah hanya di kbrprime.id.

Baca juga: Tampil Modis dengan Budget Minimalis, Bisa Banget!

  • slowfashion
  • fastfashion
  • sampahpakaian
  • limbahtekstil
  • minimalis

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!